REVIEW
PENGARUH KUALITAS
SUMBER DAYA MANUSIA
PENGELOLA KOPERASI
TERHADAP PERKEMBANGAN
KOPERASI UNIT DESA DI
KABUPATEN NIAS
Oleh :
Atozisochi Daeli, Amru
Nasution,Matias Siagian
PEMBAHASAN
Menurut Anoraga dan H. Djoko Sudantoko (2002:1), Koperasi berasal
dari kata ”co” yang berarti
bersama, dan ”operation”
yang mengandung makna bekerja. Jadi, secara leksikologis koperasi
bermakna sebagai suatu perkumpulan kerja sama yang beranggotakan orang-orang
maupun badan-badan, di mana ia memberikan kebebasan untuk keluar dan masuk
sebagai anggotanya.
Pengertian Koperasi menurut Undang-Undang Koperasi No.25 tahun
1992 adalah Badan Usaha yang beranggotakan orang-orang atau badan hukum
koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi, sekaligus
sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan. Dalam
undang- undang ini diatur prinsip-prinsip koperasi yaitu:
1. Keanggotaan bersifat sukarela dan terbuka
2. Pengelolaan dilakukan secara demokratis
3. Pembagian sisa hasil usaha dilakukan secara
adil
sebanding dengan besarnya jasa usaha
masing-masing
anggota
4. Pemberian balas jasa yang terbatas terhadap
modal
5. Kemandirian
6. Pendidikan perkoperasian
7.
Kerjasama antarkoperasi
Di Indonesia ada dua jenis koperasi yaitu koperasi primer dan
koperasi sekunder. Koperasi primer adalah
koperasi yang anggotanya adalah
orang-orang yang memiiki kesamaan
kepentingan ekonomi dan ia
melaksanakan kegiatan usahanya
dengan langsung melayani para anggotanya. Contoh koperasi primer ini
adalah Koperasi Unit Desa. Sedangkan koperasi sekunder adalah semua koperasi
yang didirikan dan beranggotakan koperasi primer dan atau koperasi sekunder.
Berdasarkan kesamaan kepentingan dan tujuan efisiensi, koperasi sekunder dapat
didirikan oleh koperasi sejenis maupun berbagai jenis atau tingkatan. Dalam hal
koperasi mendirikan koperasi sekunder dalam berbagai tingkatan, seperti yang
selama ini dikenal sebagai pusat,
gabungan, dan induk, maka jumlah tingkatan maupun penamaannya diatur
sendiri oleh koperasi yang bersangkutan. Berapa tingkatan penggabungan yang
dilakukan sangat tergantung pada pertimbangan kelayakan dan efisiensi usaha dan
pelayanan kepada para anggotanya. Koperasi sekunder ini misalnya adalah Pusat
atau Induk KUD (PUSKUD/INKUD).
Untuk konteks Indonesia, pembagian koperasi didasarkan pada
kebutuhan nyata masyarakat. Secara umum ada lima klasifikasi koperasi, yakni:
1. Koperasi Konsumsi
2. Koperasi Simpan Pinjam Atau Koperasi Kredit
3. Koperasi Produksi
4. Koperasi Jasa
5. Koperasi Serba Usaha
Perdebatan tentang kemampuan koperasi sebagai salah satu institusi
yang mampu mendongkrak
keterpurukan perekonomian
rakyat, masih tetap berlangsung hingga saat ini. Perdebatan itu melibatkan
banyak pihak, baik dari pemerhati maupun praktisi koperasi di Indonesia. Salah
satu pihak menganggap koperasi tidak akan mampu berkembang sebagai salah satu
pilar ekonomi yang kokoh. Para analisis dari kubu yang
pesimistis ini memberikan argumentasi terhadap eksistensi
koperasi di Indonesia, yaitu bahwa sistem koperasi yang dikenal di Indonesia
tidak akan pernah mampu bersaing dengan sistem ekonomi liberal yang
dikembangkan oleh banyak negara. Selain itu,fungsi koperasi yang dualistis,
yakni fungsi ekonomi dan fungsi sosial akan membuat koperasi bergerak lamban,
terseok-seok dan cenderung mengabaikan prinsip-prinsip ekonomi dalam aktivitas
produksinya. Padahal keberadaan dan perkembangan suatu institusi koperasi
sangat ditentukan, sejauhmana institusi itu dapat dikelola secara efisien dan
efektif.
Sebaliknya, analisis dari pihak yang optimistis berkeyakinan
bahwa koperasi merupakan salah
satu institusi yang handal dan tepat,
tidak hanya untuk
membangun perekonomian rakyat, tetapi memiliki potensi untuk membangun
perekonomian nasional. Pihak ini melihat kebijakan koperasi secara makro telah mampu memfasilitasi eksistensi
dan perkembangan koperasi sebagai
lembaga ekonomi dan sosial. Memang sebagian besar mereka mengakui bahwa
secara kualitas perkembangan koperasi belum
seperti yang diharapkan.
Terlepas dari perdebatan yang terjadi, keberadaan dan kewajiban
untuk membangun koperasi di Indonesia sudah merupakan amanat konstitusi dalam
pasal 33 UUD 1945, sehingga tidak ada satu alasan yang cukup kuat untuk mengabaikan
keberadaan dan perkembangan koperasi. Di samping itu, perkembangan koperasi di
Indonesia secara kuantitas sebenarnya cukup menggembirakan, seperti terlihat
pada data Rencana Strategis Pembangunan Koperasi, Pengusaha Kecil dan Menengah
(2000), bahwa pada periode 1997-1999 jumlah koperasi yang berbadan hukum dan
aktif, dan jumlah anggota koperasi yang aktif meningkat, begitu juga dengan aset
koperasi juga mengalami peningkatan.
Beberapa tahun belakangan ini, terutama pada masa era reformasi
dan diberlakukannya otonomi daerah, perhatian terhadap gerakan pembangunan
koperasi semakin tinggi. Hal ini terlihat dari konsep Pemberdayaan Ekonomi Kerakyatan
yang menjadi kata kunci yang sering muncul dalam laporan-laporan resmi
Pemerintah Daerah Kabupaten Nias, terutama yang berhubungan dengan
pengelolaan dan pemberdayaan
koperasi. Salah satu contoh adalah konsep ekonomi kerakyatan dijadikan sebagai argumentasi utama
dalam Program Pemberdayaan
Koperasi Dan Usaha Kecil Menengah
pada tahun anggaran
2001 (Inventarisasi Mekanisme Pengelolaan Koperasi dan UKM Berdasarkan
Potensi Dan Peluang Usaha Di Kabupaten Nias Tahun 2001).
Seyogianya, upaya-upaya pemberdayaan koperasi dan usaha kecil
menengah, terutamapada pelaksanaan otonomi daerah, telah menghasilkan
koperasi-koperasi dan usaha kecil menengah yang lebih baik dibandingkan dengan tahun-tahun
sebelumnya. Namun, dari datasekunder dan beberapa hasil wawancara, ditemukan
bahwa upaya pemberdayaan koperasi dan usaha kecil menengah belum mampu memberikan
hasil yang optimal, bahkan cenderung mengalami kemunduran, baik secara kuantitas
maupun kualitas.
Seorang informan kunci dari Dinas Koperasi Pengusaha Kecil Dan
Menengah Pemerintah Daerah Kabupaten Nias menyatakan sebagai berikut: “Banyak
faktor yang menyebabkan upaya pemberdayaan koperasi dan pengusaha kecil tidak
memberikan hasil yang optimal, padahal upaya-upaya yang lebih serius justru lebih
terlihat pada tahun-tahun terakhir ini. Di antaranya berdasarkan
pengamatan dan pengalaman saya
di lapangan adalah akibat adanya anggapan para pangurus dan anggota koperasi,
bahwa kemajuan koperasi sudah merupakan tanggung jawab pemerintah semata. Banyak
program yang diprakarsai oleh pemerintah daerah terutama yang menyangkut fasilitas
permodalan (kredit), tidak dapat dikelola dengan baik, bahkan ada sebagian para
pengurus yang tidak mampu menyalurkan pembinaan secara optimal kepada para
anggota. Di samping itu, terdapat pula kasus-kasus yang menyebabkan kemunduran aktivitas
koperasi, misalnya terjadinya
konflik sesama pengurus dan anggota setelah adanya program bantuan modal”.
Hingga 31 Desember 2003, tercatat jumlah seluruh koperasi yang ada
di Kabupaten Nias sebanyak 318 unit yang terdiri dari 24 unit KUD, dan 294 unit
non KUD. Data ini semakin memberikan justifikasi bahwa perhatian terhadap perkembangan
KUD dari Pemerintah Daerah Nias masih sangat rendah. Padahal eksistensi KUD
yang seyogianya merupakan institusi yang harus lebih dikembangkan, mengingat
desa-desa di Kabupaten Nias sebagian besar masih tertinggal, bahkan sebagian
besar desa-desa itu belum dapat dilalui kendaraan.
Lebih jauh dapat
ditelusuri bahwa keberadaan atau
perkembangan koperasi, terutama
yang non KUD juga tidak merata di seluruh
Kecamatan, bahkan terdapat kecenderungan perkembangan koperasi
terpusat pada ibukota kabupaten. Minimnya jumlah KUD dibandingkan dengan jumlah
non KUD berkaitan erat dengan hambatan dan ciri pendirian masing- masing
koperasi, yakni pada jenis koperasi non KUD, sebagian besar upaya pendiriannya
tidak harus melibatkan banyak orang dan proses yang lebih sederhana. Misalnya
pendirian Koperasi Pegawai Republik Indonesia (KPRI) tidak memerlukan
persetujuan dari seluruh pegawai pada unit kerja masing-masing, cukup hanya berdasarkan
surat keputusan pimpinan kantor.
Demikian pula pendirian
koperasi serba usaha, koperasi karyawan, koperasi pasar, koperasi simpan
pinjam, koperasi angkutan dan sebagainya yang hanya melibatkan beberapa orang
dan jumlah anggota yang jauh lebih sedikit, sehingga secara teknis lebih mudah dalam
pengelolaannya. Namun, uniknya adalah seyogianya jumlah KUD akan lebih banyak, karena
intervensi terhadap KUD dari pemerintah lebih besar dibandingkan dengan
intervensi yang dilakukan pemerintah terhadap koperasi non KUD.
Jumlah anggota koperasi sering dijadikan sebagai alasan utama
sebagai penyebab lambannya perkembangan suatu koperasi. Gejala ini merupakan
suatu ironi mengingat salah satu keberhasilan koperasi adalah terlihat dari perkembangan
jumlah anggota. Namun demikian alasan jumlah anggota dikemukakan oleh seorang pengurus
koperasi unit desa yang terekam dalam salah satu wawancara bebas yang dilakukan
kepada salah seorang ketua koperasi unit desa, yakni: “Agak sulit untuk
mengatur amggota yang jumlahnya terlalu banyak, mereka hanya mau hadir pada
acara pengucuran kredit usaha tani, adanya program bantuan dari pemerintah. Sedangkan
acara-acara lainnya sulit untuk diharapkan hadir, paling-paling yang hadir sekitar
20 hingga 30 persen. Inilah yang menyebabkan kami pengurus, sering melakukan kegiatan-kegiatan
KUD berdasarkan keputusan beberapa orang di antara kami. Namun, ini pulalah
yang menjadi alasan para anggota menyudutkan kami dengan pertanyaan kenapa mereka
tidak tahu dan tidak diundang untuk membicarakan langkah-langkah koperasi.”
Di samping jumlah anggota dari koperasi non KUD yang lebih sedikit
menjadi salah satu alasan lebih berkembangnya koperasi ini dibandingkan dengan
KUD, ternyata dari berbagai wawancara dengan beberapa staf Dinas Koperasi Dan
Pengusaha Kecil Dan Penanaman Modal Kabupaten Nias, diperoleh informasi bahwa jenis
koperasi non KUD lebih gesit dan lebih lincah dalam menangkap peluang-peluang
yang terutama berkaitan dengan jasa-jasa perbankan.
Di samping itu, ternyata institusi koperasi yang ada dapat
dimanfaatkan oleh pengurus dalam meningkatkan posisi tawar menawar dengan
pihak-pihak lain, misalnya terhadap adanya kebijakan dinas pasar pemerintah
daerah yang dianggap terlalu memberatkan para pedagang, maka melalui institusi
inilah mereka melakukan pendekatan, bahkan perlawanan terhadap kebijakan
tersebut. Banyak kasus yang membuktikan adanya kekuatan institusi Koperasi non
KUD dalam memperjuangkan kepentingan para anggota. Alasan-alasan pragmatis yang
dikemukakan di atas, ternyata dapat dijadikan sebagai salah satu alasan mengapa
jenis koperasi atau kelompok koperasi non KUD lebih mampu berdaya dibandingkan
dengan KUD.
Ciri yang menonjol dari koperasi unit desa di Kabupaten Nias
adalah eksistensi atau kemunculan merupakan akibat dari adanya
program-program tertentu dari pemerintah, baik pusat, provinsi maupun
kabupaten. Berbeda dengan koperasi non KUD yang lebih banyak dibentuk oleh
segelintir orang atau oleh instansi tertentu, namun gerakannya selalu lebih
berorientasi pada upaya
pemaksimalan keuntungan pada anggota, paling tidak upaya untuk menangkap
adanya peluang-peluang yang sebenarnya tidak ditujukan khusus kepada mereka.
Namun, pada sisi kepentingan pengembangan Koperasi Unit Desa,
keberadaan koperasi non KUD di Kabupaten Nias, tampaknya dicurigai sebagai
salah satu faktor yang turut memberikan kontribusi terhadap lambannya gerakan
koperasi unit desa. Argumentasi yang lebih realistis adalah dari persoalan
banyaknya peluang-peluang atau kesempatan-kesempatan yang sebenarnya ditujukan
bagi pengembangan Koperasi Unit Desa diambil oleh koperasi-koperasi non KUD.
Perkembangan jumlah koperasi yang baru terbentuk sebenarnya
bukanlah sebagai akibat meningkatnya kesadaran masyarakat dalam berkoperasi,
tetapi lebih banyak ditentukan dari arah kebijakan pembangunan secara nasional,
yakni pada era 1980 hingga 1999 terdapat banyak program-program yang
mengutamakan keterlibatan koperasi, demikian pula dengan
program-program pengentasan kemiskinan, program penampungan produksi
pertanian yang lebih dikenal dengan program kemitraan, Bapak Angkat, dan
sebagainya.
Berdasarkan wawancara bebas dan data-data sekunder, diperoleh
gambaran bahwa terbatasnya jumlah KUD yang berdiri di Kabupaten Nias
dibandingkan dengan jenis-jenis koperasi lainnya disebabkan pendirian dan
pengelolaan Koperasi Unit Desa lebih sulit dibandingkan dengan pendirian dan
pengelolaan jenis-jenis koperasi lainnya.
Di samping itu, ditemukan adanya informasi yang menggambarkan
bahwa aliran kebijakan yang digariskan secara nasional mengenai upaya-upaya
pembangunan, baik yang berhubungan langsung mengenai koperasi maupun yang tidak
berhubungan secara langsung, tetapi melibatkan peran koperasi sebagai instrumen
utama, lebih cenderung tertangkap oleh para elite-elite masyarakat, terutama
masyarakat yang tinggal disekitar ibu kota kecamatan.
Akses kelompok elite masyarakat terhadap berbagai sumber maupun
isu-isu pembangunan ternyata sangat menentukan jenis koperasi yang mereka
kembangkan. Dalam hal ini pembentukan koperasi unit desa lebih kompleks, karena
harus melibatkan banyak orang, kontrol yang diperkirakan terlalu kaku dan
adanya kecurigaan yang berlebih-lebihan dari pendiri maupun pemrakarsa
pendirian jenis koperasi terhadap dedikasi dan loyalitas para anggota.
Upaya yang dilakukan
pemerintah tampaknya hingga kini
belum mampu mendudukkan koperasi sebagaimana
mestinya. Artinya ada persoalan yang belum diketahui secara jelas mengapa
keberpihakan pemerintah terhadap keberadaan koperasi tidak diikuti dengan
pencapaian atau perkembangan koperasi yang optimal. Secara kualitas, gambaran
koperasi di Indonesia belum sebanding dengan upaya yang telah dilakukan oleh
pemerintah.
Salah satu indikator makro yang representative adalah masih
rendahnya nilai transaksi per anggota koperasi yang jauh di bawah Rp 50.000; per
bulan, menunjukkan aktivitas koperasi di Indonesia masih belum optimal (Kantor
Menteri Negara Urusan Koperasi dan Usaha Kecil Menengah RI, 2000). Indikator
lainnya adalah meningkatnya jumlah koperasi-koperasi yang dijadikan sebagai
alat untuk memperoleh fasilitas-fasilitas yang menguntungkan segelintir orang,
seperti DO pupuk, fasilitas ekspor, kredit dan sebagainya.
Gagalnya gerakan koperasi di Indonesia untuk berkompetisi dengan
arus liberalisasi ekonomi,
dimungkinkan terjadi akibat terhambatnya proses gerakan koperasi
pada tahap permulaan kemerdekaan yang masih sebatas fungsi advokasi dan
sosialisasi prinsip-prinsip dan konsep-konsep koperasi, pada tahap demokrasi
terpimpin. Begitu pula saat tahap orde baru, gerakan koperasi berpacu dengan
gerakan- gerakan pembangunan disegala sektor yang didominasi oleh
pengaruh-pengaruh ekonomi liberal, sehingga gerakan koperasi pada tahap ini pun
tidak mampu berkompetisi dan selalu tertinggal jauh, walaupun upaya-upaya yang
dilakukan pemerintah melalui
kebijakan- kebijakan rehabilitasi,
konsolidasi dan pengembangan koperasi tetap berlanjut. Pada tahap inilah
banyak pihak menyatakan pemerintah belum memberikan
tekanan lebih yang memihak pada kepentingan koperasi.
Pada dimensi ini, persoalan-persoalan koperasi dilihat sebagai
persoalan yang lebih condong pada faktor eksternal, yaitu apabila kita
menginginkan suatu koperasi berkembang, maka harus ada perhatian dan perlakuan
yang memudahkan koperasi untuk memperoleh akses terhadap berbagai sumber dalam
rangka menguatkan kemampuannya untuk berkompetisi dengan sektor lain.
Dimensi lain dari alasan perkembangan koperasi tidak dilihat dari
aspek ideologi yang dikotomis antara pertarungan kekuatan liberalis dengan
sosialis, tetapi lebih banyak menekankan pada aspek internal koperasi yang
menekankan adanya persoalan kualitas sumber daya manusia yang mengelola
koperasi.
Pada dimensi ini, peran pemerintah atau pengaruh eksternal
terhadap perkembangan koperasi tidak dilihat sebagai penyebab utama keterpurukan
koperasi, tetapi lebih banyak ditentukan oleh kemampuan pengelola dalam memformulasi,
mengadopsi keinginan-keinginan ataupun mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan anggota
dan masyarakat lainnya dalam rangka mengembangkan usaha-usaha koperasi yang dapat
memenuhi keinginan ataupun kebutuhan- kebutuhan tersebut. Kondisi ini tentunya menuntut
adanya kualifikasi sumber daya manusia pengelola koperasi. Keberhasilan
koperasi sangat ditentukan oleh kemampuan pengelola untuk mengenali jenis-jenis
kebutuhan dari segenap masyarakat dan kemampuan untuk menjembataninya dengan
sumber-sumber yang memungkinkan.
Rekomendasi penting lainnya mengenai pentingnya kualitas sumber
daya manusia pengelola koperasi, baik berdasarkan hasil kajian teoretis maupun
empiris dapat dilihat, antara lain tulisan dari Tjakrawerdaja (1994) yang
merekomendasikan perlunya KUD memperkerjakan manajer dan staf
profesional, memiliki pengurus yang mempunyai jiwa kewirakoperasian, idealisme,
dan dedikasi tanggung jawab. Soedjono
(1994); Sukotjo (1994), juga merekomendasikan adanya pengurus yang memiliki
kemampuan manajerial dalam menggerakkan dan mengorganisir kelompok serta
mengarahkan kegiatan-kegiatan koperasi.
Dari penelitian diperoleh karakteristik penting yang diperkirakan
mewarnai kualitas pengelolaan koperasi dari responden pengurus koperasi yang
dijadikan sebagai sampel adalah sebagai berikut :
Selain pengalaman pada
kegiatan perkoperasian, pengalaman menduduki jabatan pengurus merupakan
suatu hal yang penting dalam
menentukan keberhasilan seorang pengurus koperasi. Walaupun hampir
setengah dari responden merupakan orang yang baru terpilih menduduki jabatan
dalam kepengurusan koperasi unit desa, namun sebagian besar adalah orang-orang
yang relatif telah lama menggeluti dunia perkoperasian. Tetapi, sebagian besar hanya
terlibat sebagai anggota, dan sedikit yang sudah pernah terlibat menjadi
pengurus koperasi sebelumnya.
Faktor
penting lainnya yang diperkirakan turut menentukan keberhasilan dalam mengelola
koperasi adalah pendidikan formal, mengingat dalam praktek
pengelolaan KUD, ternyata banyak peluang-peluang terutama yang berasal dari
kebijakan-kebijakan pemerintah yang memerlukan persyaratan teknis yang agak
rumit untuk mendapatkannya. Misalnya, adanya penyusunan konsep dan program
Koperasi Unit Desa yang mudah untuk diukur dan usulan- usulan lainnya yang
memerlukan kemampuan dan pemahaman yang agak rumit, sehingga mau tidak mau,
para pengurus seyogianya harus memiliki basis pendidikan formal yang memadai,
paling tidak mereka pernah menduduki pendidikan lanjutan atas. Dari penelitian diperoleh
ternyata proporsi pendidikan formal yang diperlihatkan oleh para responden
pengurus koperasi relatif telah memadai, yaitu sebagian besar sudah
berpendidikan formal SLTA, bahkan ada yang telah menamatkan pendidikan di perguruan
tinggi.
Selain pendidikan, keberhasilan pengelolaan koperasi unit desa
juga ditentukan oleh factor perolehan pengetahuan dan keterampilan dari
lembaga-lembaga pendidikan non formal seperti kursus keterampilan. Hasil
penelitian memperlihatkan
proporsi responden yang
memperoleh pengetahuan mengenai perkoperasian secara informal
lebih banyak melalui sarana penyuluhan, pelatihan, diskusi dan
menonton/mendengar siaran radio/tv. Sedangkan proporsi responden yang mengikuti
atau memperoleh pengetahuan dan keterampilan melalui jalur-jalur non formal,
sebagian besar dari mereka tidak pernah mengikutinya.
Dengan karakteristik responden tersebut di atas, maka upaya yang
dapat dilakukan untukmeningkatkan kualitas sumber daya manusia pengelola
koperasi unit desa hanyalah dengan melalui program-program pelatihan,
penyuluhan dan memperbanyak brosur-brosur sederhana yang mudah untuk dibaca dan
dimengerti oleh para pengurus koperasi.
Setelah melihat dari pendidikan dan perolehan pengetahuan dan
keterampilan melalui jalur pendidikan non formal dan informal, maka dapat
diketahui kualitas sumber daya manusia responden yang dibagi dalam tiga kategori
yaitu, rendah, sedang, dan tinggi. Pembagian kategori kualitas sumber
daya manusia tersebut menunjukkan bahwa mayoritas
responden tergolong pada kualitas sumber daya manusia yang rendah yaitu sekitar
60 persen, sedangkan kategori sedang dan tinggi masing-masing sebesar 20 persen
.
Proporsi di atas menunjukkan bahwa secara teoretis dari aspek
kualitas sumber daya manusia para responden belum kondusif untuk mengelola
koperasi unit desa secara profesional, sehingga secara teoretis diperkirakan
mewarnai derajat atau kemampuan mereka untuk melakukan inovasi, kreativitas
maupun prakarsa melakukan tindakan-tindakan yang lebih cerdas dalam memajukan
kegiatan-kegiatan koperasi juga akan mengalami hambatan yang berarti, seperti
kurang dapat memanfaatkan peluang-peluang dari instansi pemerintah, swasta
maupun pribadi.
Hal ini ditunjukkan dari hasil penelitian, sebagian besar
responden mengaku pernah melakukan
atau memprakarsai kegiatan kerjasama dengan instansi
pemerintah, swasta, pribadi dan para anggota koperasi. Namun, jika ditelusuri
lebih jauh, terutama menyangkut realisasi dari prakarsa yang pernah dilakukan,
diperoleh gambaran bahwa upaya yang telah dilakukan belum menunjukkan hasil
yang optimal. Hal ini terlihat dari masih kecilnya proporsi kerjasama yang
dilakukan koperasi unit desa dengan berbagai instansi pemerintah, swasta, maupun
pribadi, baik dibidang permodalan, manajemen, maupun
dibidang peningkatan produksi.
Pada saat pengumpulan data/wawancara terhadap para pengurus
koperasi, diperoleh jawaban yang berbeda dari masing-masing pengurus mengenai
pernah tidaknya koperasi unit desa mereka melakukan kerjasama dengan instansi
lain. Hal ini menjelaskan bahwa pengurus koperasi unit desa yang dijadikan
sampel responden tidak memiliki sikap dan pendapat yang sama mengenai
koperasinya.
Sebagian responden yang menjabat sebagai ketua dianggap paling
banyak mengetahui aktivitas koperasi, sementara pengurus lainnya dianggap hanya
sebagai pelengkap. Hal ini terekam pada saat dilakukan penelusuran dokumen yang
dapat membuktikan koperasi-koperasi unit desa telah melakukan kerjasama dengan
pihak lain. Seluruh koperasi unit desa yang dijadikan sampel tidak dapat
menunjukkan satu lembar dokumen yang dimaksud. Hal ini merupakan pertanda bahwa
sistem administrasi yang dimiliki oleh masing-masing koperasi belum memadai.
Namun, dengan keterbatasan data atau informasi yang hanya dapat diperoleh
secara lisan, upaya untuk meningkatkan validitas data tidak dapat dilakukan,
sehingga satu-satunya sumber informasi yang dapat dianalisa lebih jauh hanyalah
berdasarkan pengetahuan dan ingatan para pengurus, terutama yang menyangkut
kerjasama dengan pihak lain.
Tanggapan responden mengenai dukungan pemerintah terhadap koperasi
unit desa sebagian besar berada pada kategori sedang, namun cukup banyak juga
yang berada pada kategori tinggi. Proporsi ini sebenarnya belum optimal, karena
seharusnya dukungan dari pemerintahlah yang diharapkan oleh koperasi-koperasi
unit desa, terutama untuk daerah-daerah yang masih terbelakang seperti di
daerah penelitian.
Masih kecilnya proporsi dukungan institusi pemerintah terhadap
koperasi unit desa, tampaknya juga diikuti oleh institusi swasta dan perusahaan
pribadi, yang menunjukkan proporsi dukungan yang hampir sama, yakni sama-sama
masih relatif rendah. Tidak jauh dari kondisi ini, dukungan yang tinggi dari
para anggota koperasi tampaknya belum terwujud dalam upaya untuk mengembangkan
kegiatan koperasi. Hal ini terlihat jelas dari sebagian besar responden yang
menyatakan dukungan para anggota koperasi pada kategori sedang, bahkan masih
terdapat responden yang memberikan dukungan pada kategori rendah. Walaupun
demikian, proporsi responden yang memberikan tanggapan terhadap dukungan
anggota pada kategori yang tinggi cukup banyak.
Karakteristik penting untuk
melihat perkembangan koperasi unit desa adalah dari jumlah anggota,
volume ysaha dan sisa hasil usaha. Artinya, semakun besar jumlah anggota,
volume usaha dan sisa hasil usaha, maka koperasi tersebut dapat dikatakan
semakin berkembang. Dari 7 koperasi unit desa yang dijadikan sampel, ternyata
hanya satu KUD yang memiliki jumlah anggota di atas 500 orang, yakni KUD
Temani. Tiga KUD yakni, KUD Serasih, Swadaya dan Masa Karya memiliki jumlah
anggota antara 100 hingga 150 orang. Jumlah anggota yang dibawah 100 orang
terdapat pada KUD Sinar Pagi, Sarunehe dan Harapan.
Dalam tiga tahun terakhir, yakni 2001 sampai 2003, sebagian besar
KUD tersebut mengalami perkembangan yang relatif lamban. Selain itu, terdapat
perubahan jumlah anggota yang hanya terjadi pada satu KUD, yakni KUD temani
yang mengalami pengurangan jumlah anggota. Sedangkan enam KUD lainnya tidak
mengalami perubahan jumlah anggota. Dalam kurun waktu tersebut, hanya KUD
Temani yang mengalami perkembangan yang dilihat dari volume usahanya dan sisa
hasil usahanya, sedangkan KUD lainnya tampaknya tidak mengalami perkembangan
yang berarti. Perbedaan perkembangan
KUD Temani dibandingkan dengan
KUD lainnya, kemungkinan
berhubungan dengan faktor-faktor yang dalam penelitian ini diduga berasal dari
faktor sumber daya manusia pengelolanya. Namun demikian, tidak tertutup
kemungkinan adanya faktor-faktor lainnya.
Proporsi responden pada kategori tingkat perkembangan KUD semakin
besar sejalan dengan semakin naiknya kategori kualitas sumber daya manusia
responden. Hal ini dapat dibuktikan dengan responden yang memiliki kualitas
sumber daya manusia pada kategori rendah menunjukkan proporsi yang besar pada
kategori perkembangan koperasi yang rendah. Sedangkan pada kategori responden
yang memiliki kualitas sumber daya manusia pada kategori tinggi yang sudah
menunjukkan adanya peningkatan proporsi hingga 50 persen pada kategori
perkembangan koperasi yang tinggi. Namun demikian, perbedaan proporsi responden
pada kattegori perkembangan koperasi unit desa berdasarkan kualitas sumber daya
manusia tidak terbukti signifikan berdasarkan analisa uji Chi-Square yang
dilakukan dalam penelitian ini. Hasil ini membuktikan bahwa asumsi kualitas
sumber daya manusia dapat memberikan variasi terhadap perkembangan koperasi
unit desa tidak terbukti. Dengan kata lain faktor sumber daya manusia pengurus
koperasi tidak terbukti sebagai factor yang dapat menentukan terjadinya variasi
pada tingkat perkembangan koperasi unit desa.
Dari analisa dalam penelitian juga ditemukan bahwa terdapat
perbedaan proporsi yangmerupakan suatu bukti kasar adanya pengaruh dari dukungan
pemerintah terhadap perkembangan
koperasi unit desa responden. Dalam hal ini perbedaan yang terjadi atau
perbedaan perkembangan koperasi unit desa berdasarkan tingkat dukungan
pemerintah terbukti signifikan. Perbedaan
proporsi perkembangan KUD berdasarkan
tingkat dukungan instansi swasta
juga terbukti signifikan. Hasil
tes statistik tersebut di atas membuktikan
bahwa variabel dukungan pemerintah dan dukungan instansi
swasta merupakan salah satu faktor dari tingkat perkembangan koperasi unit
desa. Sebaliknya, dari uji statistik didapatkan bahwa perbedaan yang terjadi
pada tingkat perkembangan KUD berdasarkan tingkat dukungan perusahaan pribadi
tidak signifikan. Dengan kata lain, variable dukungan perusahaan pribadi bukan
sebagai salah satu faktor dari variabel perkembangan KUD. Begitu juga dengan
tingkat dukungan anggota yang bukan merupakan salah satu factor dari variabel
perkembangan KUD, hal ini terbukti dari pengujian statistik yang hasilnya tidak
signifikan.
Penjelasan yang logis dari temuan di atas adalah kualitas sumber
daya manusia para pengurus KUD berhubungan dengan kemampuan para pengurus
untuk meneruskan dan melanggengkan hubungan baik antara
koperasi dengan pihak pemerintah maupun institusi swasta. Hal itu merupakan
suatu realitas yang tidak dapat dipungkiri, karena hingga saat ini
koperasi-koperasi di Kabupaten Nias masih dominan tergantung pada
program-program yang dibangun oleh pemerintah, baik pemerintah pusat, provinsi
maupun pemerintah daerah, terutama yang berkaitan dengan program- program yang
bersifat penguatan modal atau tujuan-tujuan ekonomi.
Oleh karena itu, orientasi aktivitas KUD lebih banyak diarahkan
pada perpanjangan tangan pemerintah yang menuntut kemampuan dan kehandalan
dalam melakukan negosiasi dan pendekatan-pendekatan secara
interpersonal maupun formal seperti penyusunan proposal, penyediaan
data-data dan dokumen yang dapat memenuhi kriteria pihak pemerintah dalam
rangka melakukan evaluasi dan monitoring, seperti yang diutarakan oleh salah
satu seorang key informan berikut:
“Agar dapat tetap terlibat dalam program- program pembinaan
pemerintah yang senantiasa mengadakan pembinaan melalui instansi-instansi
terkait, seperti penyusunan program pembinaan, evaluasi dan monitoring, maka
kami para pengurus harus dapat mengikuti arahan-arahan dan perubahan-perubahan
maupun format-format laporan yang diminta oleh para petugas yang bersangkutan.
Di samping itu, kami para pengurus harus menunjukkan kemampuan dan keseriusan
dalam menjalankan setiap program. Sebab kalau tidak demikian, maka untuk
bantuan berikutnya besar kemungkinan koperasi kami tidak dilibatkan. Menurut
saya tidaklah terlalu sulit untuk memenuhi persyaratan-persyaratan yang memang
kadang-kadang harus menyontoh dari teman-teman pengurus KUD lainnya, dan sering
pula kami secara langsung menanyakan kepada petugas yang bersangkutan apa-apa
saja yang harus kami lakukan.”
Kualitas sumber daya manusia para pengurus koperasi dalam hal ini
adalah berfungsi sebagai distributor, bukan sebagai produsen. Dengan demikian
posisi kualitas sumber daya manusia para pengelola berorientasi pada kemampuan
untuk memperoleh dukungan dari institusi pemerintah maupun
swasta dan bukan berorientasi pada bagaimana koperasi
dapat lebih produktif, sesuai dengan aktivitas dan jenis usahanya.
Hal ini terlihat dari data sebelumnya yang menunjukkan bahwa
seluruh KUD yang dijadikan sampel mengalami peningkatan volume usaha dan sisa
hasil usaha yang relatif mengalami stagnasi. Adanya peningkatan volume usaha
dari tahun 2001 hingga tahun 2003, seperti yang ditunjukkan oleh KUD Temani,
terjadi karena adanya program pemerintah pusat yang disebut dengan Program
Subsidi BBM yang dijabarkan oleh Pemerintah Daerah Nias yang disebut dengan
Program Pengembangan Usaha Mikro dan Usaha Kecil Melalui Perkuatan Dengan Pola Simpan
Pinjam KSP/USP dan LKM. Dalam hal ini KUD Temani memperoleh dana sebesar Rp 446.100.000,-
sedangkan KUD sampel lainnya sama sekali tidak memperoleh dana tersebut. Di samping
program tersebut di atas, Pemerintah Daerah Kabupaten Nias meluncurkan Proyek Pembinaan
Koperasi dan UKM, dan KUD Temani merupakan salah satu pesertanya.
Kasus KUD Temani di atas, kemungkinan dapat menjelaskan mengapa
variabel dukungan pemerintah merupakan salah satu faktor dari variabel
perkembangan KUD. Penjelasan yang sama juga berlaku untuk menjelaskan dukungan instansi
swasta terhadap perkembangan KUD, karena ternyata dalam realisasi program-program
pemerintah, baik yang bersifat bantuan modal usaha, bantuan pembinaan manajemen
dan sebagainya, semuanya melibatkan peran instansi swasta. Sebagai contoh
adanya fasilitas “DO” pupuk yang ditujukan pada KUD, dalam prakteknya
disubkontrakkan pada perusahaan-perusahaan swasta dengan pola bagi hasil. Jelas
pola usaha seperti ini menuntut adanya kualitas sumber daya manusia yang
memadai, sebab jika tidak, maka dapat dipastikan koperasi unit desa tidak akan
mampu menjalin hubungan kerjasama atau kemitraan dengan institusi-institusi
lain, baik pemerintah maupun swasta.
0 komentar:
Posting Komentar